Kebijakan Pertahanan Nasional Jepang
Visi pertahanan Jepang sejak
memperoleh kedaulatannya kembali tahun 1952 dari AS sampai dengan sekarang,
adalah untuk menjaga dan mempertahankan survival negara serta mendukung
strategi AS menghadapi perkembangan politik global maupun regional. Orientasi
kebijakan pertahanan Jepang ditentukan oleh persepsi ancaman dan gangguan
terhadap wilayahnya serta stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur. Sementara
itu, prinsip dasar yang mempengaruhi orientasi kebijakan pertahanan dan
pengembangan kekuatan militer Jepang, bertitik tolak dari penafsiran pasa19
konstitusi 1947 Jepang, yang membatasi wewenang SDF yang hanya memiliki
kekuatan minimum untuk keperluan mempertahankan diri saja, yang akibatnya
menjadikan keamanan dan survival Jepang sangatlah tergantung dari jaminan
security AS, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam “US-Japan Mutual
Security Treaty” (MST). Kebijakan ini untuk selanjutnya merupakan
identitas politik Jepang menghadapi perkembangan regional maupun global.
Tahun 1976, melalui “National
Defense Program Outline” (NDPO), konsep pertahanan nasional dari sisi
kepentingan Jepang mengalami kemajuan, karena sudah diarahkan untuk melindungi
Jepang dari sasaran agresi bersenjata, selain tetap menyimpulkan bahwa MST
masih cukup mampu melindungi wilayah Jepang menghadapi kemungkinan konflik di
Asia Timur. NDPO telah memberi wewenang kepada Jepang mengembangkan
persenjataan modern yang dapat digunakan menghadapi kemungkinan gangguan dalam
skala kecil yang “berasal dari dalam maupun luar negeri, tanpa harus meminta
ijin terlebih dahulu dari AS.
Tahun 1995, Jepang mengkaji kembali
NDPO untuk disesuaikan dengan perubahan lingkungan regional maupun internasional,
walaupun Jepang tetap pada prinsip menghindari keterlibatannya secara
langsung dalam konflik internasional. Salah satu tindakan konkrit Jepang
adalah mengirim pasukan perdamaian dalam jumlah yang terbatas ke Afghanistan.
Sementara itu, Jepang diperkenankan mengembangkan dan memodernisasi kemampuan
militernya berdasarkan “Mid-Term Defense Build-Up Plan.”
Tahun 1997, dicapai kesepakatan
yang disebut “US-Japan Defense Guideline” yang menetapkan “comprehensive
planning mechanism” yang lebih menekankan kerja sama bilateral yang bukan
hanya terfokus pada pertahanan wilayah Jepang saja, tetapi juga untuk mengantisipasi
gangguan keamanan regional. Menghadapi ancaman nuklir Korea Utara dan
penculikan warga Jepang oleh agen Korea Utara, serta masih pekanya hubungan
Jepang RRC, meningkatkan sikap nasionalisme di masyarakat dan menguatnya
keinginan untuk merevisi konstitusi 1947, agar Jepang segera menjadi negara
normal.
Adanya anggapan semakin menguatnya
ancaman nuklir Korea Utara, pada bulan Juli 2005 majelis tinggi Jepang berhasil
mengesahkan amandemen undang undang yang memberi wewenang kepada menteri
pertahanan Jepang untuk memerintahkan SDF menembakkan peluru kendali
penangkal, apabila ada ancaman serangan peluru kendali dari luar, tanpa
harus memberitahu terlebih dahulu kepada perdana menteri.
Undang-undang pertahanan dan
keamanan ini, merupakan bagian penting yang mendukung program penyusunan sistem
pertahanan peluru kendali yang akan dikeluarkan untuk disahkan tahun
2007. Dalam hubungan ini, fokus pertahanan jepang yang semula hanya
diarahkan ke utara (menghadapi Rusia) telah digeser untuk diarahkan ke barat
menghadapi China dan Korea Utara. Hal ini dapat diartikan kepekaan
hubungannya dengan China masih tajam, dan melihat pertumbuhan militer di China
sebagai suatu perkembangan yang perlu diwaspadai dan dipantau terus. Perlu juga
untuk diketahui bahwa Yukio Hatoyama merupakan cucu PM Jepang Ichiro Hatoyama.
Saat memerintah Jepang tahun 1954-1955, Ichiro Hatoyama dikenal sebagai PM yang
sangat pro Rusia.
Kemudian akibat peristiwa 11
September 2001 di W’TC New York, pada bulan Desember 2004 pemerintah Jepang merumuskan
program pertahanan baru, yang disebut National Defense Program Guidelines
(NDPG). NDPG merupakan dokumen yang menetapkan posisi dasar sistem
pertahanan dan keamanan, kemampuan sistem pertahanan, serta pedoman dasar bagi
pengembangan pertahanan Jepang, yang antara lain untuk lebih aktif terlibat
dalam kerja sama perdamaian internasional. NDPG mempunyai dua tujuan, yaitu:
untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari luar dan ikut menyempurnakan
lingkungan keamanan internasional.
Bulan Juni 2006, pemerintah Jepang
menyusun rancangan undang-undang untuk mempersiapkan pembentukan kementerian
pertahanan (yang terlaksana di akhir tahun 2006). Penggantian nama “self
defense agency” menjadi “ministry of defense” yang dipimpin oleh
seorang menteri kabinet, sebagai tanda dimulainya proses transisi menjadikan
“pasukan beladiri Jepang” (SDF) sebagai angkatan bersenjata reguler, yang
tentunya akan segera diikuti dengan pengembangan kebijakan politik pertahanan
dan sistem persenjataan pertahanan Jepang yang disesuaikan dengan ancaman dan
gangguan terhadap kedaulatannya.
Sebagai negara maju, pasukan bela
diri Jepang (SDF) sebenarnya memiliki pasukan yang berkemampuan tinggi dengan
peralatan yang berteknologi canggih. Jumlah keseluruhannya diperkirakan sebanyak
140.000 pasukan, 140 kapal angkatan laut dengan total bobot 398.000 ton dan
memiliki sejumlah 480 pesawat terbang militer. Pasukan AS yang ditempatkan di
Jepang dengan tugas utama melindungi wilayah Jepang saat ini sebanyak sekitar
21.000 anggota, yang didukung oleh sejumlah 130 pesawat terbang militer. Armada
ketujuh AS yang juga berfungsi sebagai bagian dari sistem pertahanan Jepang,
berkekuatan 40 buah kapal dengan total bobot 610.000 ton yang diperkuat dengan
70 pesawat terbang yang siap siaga di kapal induk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar