Kamis, 23 Juni 2016

KEBIJAKAN PERTAHANAN NASIONAL JEPANG

Kebijakan Pertahanan Nasional Jepang

Visi pertahanan Jepang sejak memperoleh kedaulatannya kembali tahun 1952 dari AS sampai dengan sekarang, adalah untuk menjaga dan mempertahankan survival negara serta men­dukung strategi AS menghadapi perkembangan politik global maupun regional. Orientasi kebijakan pertahanan Jepang diten­tukan oleh persepsi ancaman dan gangguan terhadap wilayahnya serta stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur. Sementara itu, prinsip dasar yang mempengaruhi orientasi kebijakan pertahanan dan pengembangan kekuatan militer Jepang, bertitik tolak dari penafsiran pasa19 konstitusi 1947 Jepang, yang membatasi we­wenang SDF yang hanya memiliki kekuatan minimum untuk keperluan mempertahankan diri saja, yang akibatnya menjadikan keamanan dan survival Jepang sangatlah tergantung dari jaminan security AS, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam “US-­Japan Mutual Security Treaty” (MST). Kebijakan ini untuk selanjutnya merupakan identitas politik Jepang menghadapi perkembangan regional maupun global.

Tahun 1976, melalui “National Defense Program Outline” (NDPO), konsep pertahanan nasional dari sisi kepentingan Je­pang mengalami kemajuan, karena sudah diarahkan untuk me­lindungi Jepang dari sasaran agresi bersenjata, selain tetap menyimpulkan bahwa MST masih cukup mampu melindungi wilayah Jepang menghadapi kemungkinan konflik di Asia Ti­mur. NDPO telah memberi wewenang kepada Jepang meng­embangkan persenjataan modern yang dapat digunakan mengha­dapi kemungkinan gangguan dalam skala kecil yang “berasal dari dalam maupun luar negeri, tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu dari AS.

Tahun 1995, Jepang mengkaji kembali NDPO untuk dise­suaikan dengan perubahan lingkungan regional maupun inter­nasional, walaupun Jepang tetap pada prinsip menghindari keter­libatannya secara langsung dalam konflik internasional. Salah satu tindakan konkrit Jepang adalah mengirim pasukan perda­maian dalam jumlah yang terbatas ke Afghanistan. Sementara itu, Jepang diperkenankan mengembangkan dan memodernisasi kemampuan militernya berdasarkan “Mid-Term Defense Build-Up Plan.

Tahun 1997, dicapai kesepakatan yang disebut “US-Japan Defense Guideline” yang menetapkan “comprehensive planning mechanism” yang lebih menekankan kerja sama bilateral yang bukan hanya terfokus pada pertahanan wilayah Jepang saja, tetapi juga untuk mengantisipasi gangguan keamanan regional. Meng­hadapi ancaman nuklir Korea Utara dan penculikan warga Jepang oleh agen Korea Utara, serta masih pekanya hubungan Jepang­ RRC, meningkatkan sikap nasionalisme di masyarakat dan menguatnya keinginan untuk merevisi konstitusi 1947, agar Jepang segera menjadi negara normal.

Adanya anggapan semakin menguatnya ancaman nuklir Korea Utara, pada bulan Juli 2005 majelis tinggi Jepang berhasil mengesahkan amandemen undang undang yang memberi wewe­nang kepada menteri pertahanan Jepang untuk memerintahkan SDF menembakkan peluru kendali penangkal, apabila ada anca­man serangan peluru kendali dari luar, tanpa harus memberitahu terlebih dahulu kepada perdana menteri.

Undang-undang pertahanan dan keamanan ini, merupakan bagian penting yang mendukung program penyusunan sistem pertahanan peluru kendali yang akan dikeluarkan untuk disahkan tahun 2007. Dalam hubungan ini, fokus pertahanan jepang yang semula hanya diarahkan ke utara (menghadapi Rusia) telah dige­ser untuk diarahkan ke barat menghadapi China dan Korea Utara. Hal ini dapat diartikan kepekaan hubungannya dengan China masih tajam, dan melihat pertumbuhan militer di China sebagai suatu perkembangan yang perlu diwaspadai dan dipantau terus. Perlu juga untuk diketahui bahwa Yukio Hatoyama merupakan cucu PM Jepang Ichiro Hatoyama. Saat memerintah Jepang tahun 1954-1955, Ichiro Hatoyama dikenal sebagai PM yang sangat pro Rusia.

Kemudian akibat peristiwa 11 September 2001 di W’TC New York, pada bulan Desember 2004 pemerintah Jepang merumuskan program pertahanan baru, yang disebut National Defense Pro­gram Guidelines (NDPG). NDPG merupakan dokumen yang menetapkan posisi dasar sistem pertahanan dan keamanan, ke­mampuan sistem pertahanan, serta pedoman dasar bagi peng­embangan pertahanan Jepang, yang antara lain untuk lebih aktif terlibat dalam kerja sama perdamaian internasional. NDPG mempunyai dua tujuan, yaitu: untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari luar dan ikut menyempurnakan lingkungan kea­manan internasional.

Bulan Juni 2006, pemerintah Jepang menyusun rancangan undang-undang untuk mempersiapkan pembentukan kemen­terian pertahanan (yang terlaksana di akhir tahun 2006). Peng­gantian nama “self defense agency” menjadi “ministry of defense” yang dipimpin oleh seorang menteri kabinet, sebagai tanda di­mulainya proses transisi menjadikan “pasukan beladiri Jepang” (SDF) sebagai angkatan bersenjata reguler, yang tentunya akan segera diikuti dengan pengembangan kebijakan politik perta­hanan dan sistem persenjataan pertahanan Jepang yang dise­suaikan dengan ancaman dan gangguan terhadap kedaulatannya.


Sebagai negara maju, pasukan bela diri Jepang (SDF) sebenar­nya memiliki pasukan yang berkemampuan tinggi dengan peralatan yang berteknologi canggih. Jumlah keseluruhannya diperkirakan sebanyak 140.000 pasukan, 140 kapal angkatan laut dengan total bobot 398.000 ton dan memiliki sejumlah 480 pesawat terbang militer. Pasukan AS yang ditempatkan di Jepang dengan tugas utama melindungi wilayah Jepang saat ini sebanyak sekitar 21.000 anggota, yang didukung oleh sejumlah 130 pesawat terbang militer. Armada ketujuh AS yang juga ber­fungsi sebagai bagian dari sistem pertahanan Jepang, berkekuatan 40 buah kapal dengan total bobot 610.000 ton yang diperkuat dengan 70 pesawat terbang yang siap siaga di kapal induk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar